Tugas Etika dan Profesionalisme TSI (Pertemuan 7)
Penulis 1 : Roro Rizky Ananda Febriani (16110243)
Penulis 2 : Eka Fitri Rahayu (12110271)
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945;
b. bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan,
mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta
meningkatkan hubungan antarbangsa;
c. bahwa pengaruh globalisasi dan
perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan
perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap
telekomunikasi;
d. bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam
penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi tersebut, perlu
dilakukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi
nasional;
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut
di atas, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang
tidak sesuai lagi, sehingga perlu diganti;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan
persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI.
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1) Telekomunikasi
adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi
dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui
sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya;
2) Alat
telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam
bertelekomunikasi;
3) Perangkat
telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
4) Sarana dan
prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung
berfungsinya telekomunikasi;
a. Pemancar radio adalah alat
telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
b. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian
perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam
bertelekomunikasi;
1. Jasa telekomunikasi adalah layanan
telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan
jaringan telekomunikasi;
d. Penyelenggara telekomunikasi adalah
perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan
keamanan negara;
e. Pelanggan adalah perseorangan, badan
hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau
jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
f. Pemakai adalah perseorangan, badan
hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau
jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
g. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
h. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah
kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya
telekomunikasi;
i. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang
memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
j. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi
adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang
memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
k. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus
adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan
pengoperasiannya khusus;
l. Interkoneksi adalah keterhubungan
antarjaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
berbeda;
m. Menteri adalah Menteri yang ruang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang telekomunikasi.
BAB II
ASAS DAN
TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata,
kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,
mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan
hubungan antarbangsa.
BAB III
PEMBINAAN
Pasal 4
1) Telekomunikasi
dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
2) Pembinaan
telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang
meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian.
3) Dalam
penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang
telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh
dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam
masyarakat serta perkembangan global.
Pasal 5
1) Dalam rangka
pelaksanaan pembinaan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat.
2) Peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa penyampaian pemikiran dan
pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan
pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian
dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
3) Pelaksanaan
peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diselenggarakan oleh
lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
4) Lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang
bergerak di bidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi,
asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan
jasa telekomunikasi serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
5) Ketentuan
mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
Menteri bertindak sebagai penanggung
jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.
PENYELENGGARAAN
Bagian
Pertama
Umum
Pasal 7
1) Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi:
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. melindungi kepentingan dan keamanan
negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi
dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat
dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.
Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk
maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi.
2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh:
a. perseorangan;
c. badan hukum selain penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
1) Penyelenggara
jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat
menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
2) Penyelenggara
jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam
menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan
telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
3) Penyelenggara
telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dapat
menyelenggarakan telekomunikasi untuk:
1) keperluan sendiri;
2) keperluan pertahanan keamanan negara;
3) keperluan penyiaran.
4) Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri dari
penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan:
1) perseorangan;
2) instansi pemerintah;
3) dinas khusus;
4) badan hukum.
5) Ketentuan
mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Larangan
Praktek Monopoli
Pasal 10
1) Dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di
antara penyelenggara telekomunikasi.
2) Larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
Bagian
Keempat
Perizinan
1) Penyelenggaraan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah
mendapat izin dari Menteri.
2) Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan:
a. tata cara yang sederhana;
b. proses yang transparan, adil dan tidak
diskriminatif; serta
c. penyelesaian dalam waktu yang singkat.
3) Ketentuan
mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Hak dan
Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
1) Dalam rangka
pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi,
penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan
atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
2) Pemanfaatan
atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun
dasar.
3) Pembangunan,
pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari
instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara
telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik
perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan
jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal 14
Setiap
pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan
telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 15
1) Atas
kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan
kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi
kepada penyelenggara telekomunikasi.
2) Penyelenggara
telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
3) Ketentuan
mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
1) Setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
2) Kontribusi
pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan
sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
3) Ketentuan
kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
a. perlakuan
yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b.
peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c. pemenuhan
standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.
Pasal 18
1) Penyelenggara
jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa
telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
2) Apabila
pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
3) Ketentuan
mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan
telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap
penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman,
penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut:
a. keamanan
negara;
c. bencana
alam;
d.
marabahaya; dan atau
e. wabah
penyakit.
Pasal 21
Penyelenggara
telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi
yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau
ketertiban umum.
Pasal 22
Setiap orang
dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a. akses ke
jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke
jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke
jaringan telekomunikasi khusus.
Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23
1) Dalam
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan
digunakan sistem penomoran.
2) Sistem
penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan
berdasarkan sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam pasal 23.
Bagian
Ketujuh
Interkoneksi
dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
1) Setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi
dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
2) Setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila
diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
3) Pelaksanaan
hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
berdasarkan prinsip:
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat
telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling
merugikan.
4) Ketentuan
mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
1) Setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang
diambil dari prosentase pendapatan.
2) Ketentuan
mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedelapan
Tarif
Pasal 27
Susunan tarif
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa
telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besaran tarif
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan
oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan
berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi
Khusus
Pasal 29
1) Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan
huruf b, dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi
lainnya.
2) Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c,
dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang
digunakan untuk keperluan penyiaran.
Pasal 30
1) Dalam hal
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka
penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3)
huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b
setelah mendapat izin Menteri.
2) Dalam hal
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat
melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
3) Syarat-syarat
untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
1) Dalam keadaan
penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu
mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat
menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau
digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
2) Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Kesepuluh
Perangkat
Telekomunikasi,
Spektrum
Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
1) Perangkat
telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau
digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan
teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2) Ketentuan
mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
1) Penggunaan
spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
2) Penggunaan
spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya
dan tidak saling mengganggu.
3) Pemerintah
melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit.
4) Ketentuan
penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
1) Pengguna
spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang
besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
2) Pengguna
orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
3) Ketentuan
mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari
dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah
perairan Indonesia, tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32.
2) Spektrum
frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di
wilayah perairan Indonesia di luar peruntukannya, kecuali:
a. untuk
kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana
alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran;
atau
b. disambungkan
ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi;
atau
c. merupakan bagian
dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
3) Ketentuan
mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
1) Perangkat
telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke
wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
2) Spektrum
frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke
wilayah udara Indonesia di luar peruntukannya, kecuali:
a. untuk
kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana
alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keselamatan lalu lintas
penerbangan; atau
b. disambungkan
ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi;
atau
c. merupakan
bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak
penerbangan.
3) Ketentuan
mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
Pemberian
izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi
radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan
asas timbal balik.
Bagian
Kesebelas
Pengamanan
Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang
dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan
elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 39
1) Penyelenggara
telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi
dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan
telekomunikasi.
2) Ketentuan
pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Setiap orang
dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui
jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal 41
Dalam rangka
pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan
pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan
perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa
telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
1) Penyelenggara
jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima
oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau
jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.
2) Untuk
keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat
merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa
telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
a. permintaan
tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak
pidana tertentu;
b. permintaan
penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang- undang yang
berlaku.
3) Ketentuan
mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pemberian
rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses
peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan
pelanggaran Pasal 40.
BAB V
P E N Y I D I
K A N
Pasal 44
1) Selain
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
2) Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan
pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang telekomunikasi;
c. menghentikan
penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari
ketentuan yang berlaku;
d. memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e. melakukan
pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau
diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di
bidang telekomunikasi;
g. menyegel dan
atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang
diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi; dan
i. mengadakan penghentian penyidikan.
3) Kewenangan
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB VI
SANKSI
ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa
melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21,
Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2),
Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2)
dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
BAB VII
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 47
Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara
telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
Pasal 52
perangkat
telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
1) Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau
Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
2) Apabila
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya
seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau
Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara
jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan
perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara
dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal
51,Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah
kejahatan.
REFERENSI :